Jump to content
Main menu
Main menu
move to sidebar
hide
Navigation
Main page
Recent changes
Random page
freem
Search
Search
Appearance
Create account
Log in
Personal tools
Create account
Log in
Pages for logged out editors
learn more
Contributions
Talk
Editing
Openai/690e264c-c9e4-800c-ae44-f3cf949de7b4
(section)
Add languages
Page
Discussion
English
Read
Edit
Edit source
View history
Tools
Tools
move to sidebar
hide
Actions
Read
Edit
Edit source
View history
General
What links here
Related changes
Special pages
Page information
Appearance
move to sidebar
hide
Warning:
You are not logged in. Your IP address will be publicly visible if you make any edits. If you
log in
or
create an account
, your edits will be attributed to your username, along with other benefits.
Anti-spam check. Do
not
fill this in!
=== User: I was, this is my old writing, and I count it five not three, but with caveat. === I was, this is my old writing, and I count it five not three, but with caveat. It evolved. --- Kata shalat (verb. shalla) sebenarnya kata serapan dari bahasa Syriak, slota, yang berarti berdoa atau sembahyang. Kata ini sudah digunakan oleh orang-orang Arab sebelum Quran dan merujuk kepada ritual beribadah secara umum baik yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy di Makkah maupun teffilot umat Yahudi dan doa umat Kristen.[1] Dalam Surat Al-Ma'un (Q 107) misalnya, Quran mencela orang yang shalat, mushallin, tapi pamer, yuraʾun, dan enggan mengeluarkan harta, yamnaʻun al-maʻun. Surat ini muncul di periode Makkah I (Tahun 1–5 kenabian) dan dengan demikian menunjukkan bila pagan Arab juga melakukan shalat. Pada Q 8:35 Quran menggambarkan cara shalat mereka dalam bentuk sindiran, tidak lebih dari siulan, mukaʾan, dan tepukan tangan, tashdiyah, yang menyiratkan cara ibadah orang pagan Arab: Melantunkan kata atau frase-frase tertentu yang berima di hadapan Ka' bah Melakukan gerakan badan tertentu yang menimbulkan bunyi-bunyian. Oleh sebab semua orang yang beragama pada saat itu sudah mendirikan shalat, maka Nabi pun sebenarnya sudah shalat baik sebelum menerima wahyu, apalagi sesudahnya. Model shalat umat Islam saat ini sama seperti model shalat Nabi, yakni ada postur berdiri, membungkuk, sujud dan duduk. Hal ini disebabkan tidak ada pengembangan yang berarti dari ritual shalat setelah Nabi wafat. Pola shalat masih begitu saja sejak dahulu kala.[2] Postur shalat Nabi ini kemungkinan besar juga merupakan hasil modifikasi dari cara shalat orang-orang Quraisy sebelum Islam. Karena pada beberapa catatan, Nabi juga turut shalat di depan Ka'bah pada saat dhuha, dan pagan Quraisy tidak ada yang keberatan dengan cara ibadah Nabi. Hal ini menyiratkan bila cara Nabi shalat masih acceptable dalam pandangan pagan Arab.[3] Lalu apa perbedaan utama selain konten dan postur antara shalat orang pagan dengan shalat Nabi? Jawabannya adalah waktu pelaksanaan. Dan kebetulan poin inilah yang mengalami evolusi sepanjang karir kenabian Muhammad. Waktu shalat Nabi pertama kali setelah turun wahyu adalah shalat malam. Kita dapat mendeduksi keberadaan waktu shalat ini dari Q 73:2–7 yang tergolong kedalam surat-surat paling awal yang turun. # Hai orang yang berselimut (Muhammad) 2. bangunlah di malam hari, kecuali sedikit. 3. Seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. 4. atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan. 5. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat. 6. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu') dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. 7. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang. Ayat lain yang serupa adalah Q 52:48-49, 76:25-26, 50:39-40, dan51:16-18. Selain shalat malam, Nabi juga tetap shalat di waktu Dhuha, bersamaan dengan waktu orang-orang Quraisy Makkah. Tapi berbeda dari kaumnya, Nabi kembali melakukan shalat pada waktu Ashr. Kali ini mereka keberatan, sebab pada waktu tersebut mereka melakukan tawaf di sekeliling Ka'bah, bukan shalat. Sehingga Nabi shalat Ashr bukan di depan Ka'bah tapi mencari lokasi lain sekitar Makkah sebagai tempat shalat. Kita memperoleh data ini dari riwayat Waqidi yang dikutip oleh Baladzuri di Ansab al-Asyraf:[4] Nabi biasa pergi ke Ka'bah pada awal hari dan menunaikan shalat dhuha. Itu adalah shalat yang tidak ditemukan kesalahan oleh Quraisy. Ketika Nabi kemudian shalat di sisa hari itu, 'Ali dan Zaid biasa duduk dan menjaganya. Ketika waktu asar tiba, Nabi dan para sahabat akan berpencar di jurang-jurang, satu per satu dan berpasangan; mereka biasa shalat duha dan asar. Setelah itu shalat lima waktu diperintahkan kepada mereka. Sebelum Hijrah, setiap shalat terdiri dari dua rakaat ... Setelah keberatan yang diterima dari kafir Quraisy terkait waktu shalat ashr, maka waktu shalat Dhuha ditinggalkan dan diganti menjadi shalat sebelum matahari terbit. Pemilihan waktu ini simetris dengan waktu shalat ashr yang dilakukan sebelum matahari terbenam. Deduksi ini kita ambil dari Q 20:130 (bandingkan dengan Q 50:39) Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang. Sehingga Nabi shalat dalam tiga waktu: Sebelum matahari terbit, Sebelum matahari terbenam, Saat malam hari. Pada periode ini pula Nabi mulai melakukan shalat jamaah bersama keluarganya. Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa. (Q 20:132) Status shalat malam di kemudian hari berubah, dari shalat wajib menjadi shalat tambahan (nafilah). Kita bisa melihat perubahan ini di surat yang sama dengan peristiwa Isra Mi'raj, yakni Q 17:79. Dan pada sebahagian malam ber-tahajudlah kamu sebagai ibadah tambahan (nafilah) bagimu. Semoga Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. Usai shalat malam ditetapkan sebagai shalat tambahan, muncul penambahan waktu zhuhur dan Isya yang terdapat di Q 30:17–18. Surat ini tergolong Madinah dan dengan demikian muncul setelah peristiwa Isra Mi'raj. # Maka bertasbihlah kepada Allah saat kalian mengalami sore (hina tumsun) dan saat kalian mengalami subuh (hina tushbihun), 18. Bagi-Nya segala puji di langit dan di bumi saat Isya ('asyiyyan) dan saat kalian mengalami tengah hari (tuzhhirun). Terakhir adalah kehadiran Shalat Pertengahan, wustha, pada Q 2:238, yang juga tergolong Madinah. Peliharalah semua shalat (shalawat), dan shalat Tengah (wustha). Berdirilah untuk Allah dengan taat (qanitin). Karena shalat Subuh, Zhuhur, Ashar, Isya, telah disebutkan sebelumnya, maka kemungkinan besar shalat Wustha ini adalah shalat Magrib. Selain karena jumlah rakaat shalat Magrib yang sangat berbeda, yakni ganjil sedang lainnya genap, waktu shalat ini juga diapit oleh shalat Ashar dan Isya'. Sebagai tambahan informasi, umat Islam awal kerap mengakhirkan shalat Ashar mereka hingga matahari mulai kekuningan atau mendekati waktu terbenam matahari. Hal serupa juga dipraktekkan pada shalat Shubuh, yang dilakukan mendekati waktu terbit matahari. Berdasarkan penjabaran ini bisa kita menginferensi evolusi dari waktu shalat Nabi (setelah mendapat wahyu) dan dengan demikian umat Islam: Shalat malam Shalat malam + Dhuha Shalat malam + Dhuha + Ashar Shalat malam + Subuh + Ashar Subuh + Zhuhur + Ashar + Isya. Subuh + Zhuhur + Ashar + Magrib + Isya Waktu shalat 1–4 terjadi pada periode Makkah, sedang waktu shalat 5–6 muncul pada periode Madinah. Sekarang kembali ke pertanyaan, apakah Nabi benar-benar mendapatkan perintah shalat dari Isra' Mi'raj? Jawaban dari pertanyaan ini adalah tidak benar. Nabi sudah shalat sejak awal mula beliau mendapat wahyu. Bahkan sebelum Muhammad menerima wahyu pun beliau sudah shalat. Yang terjadi saat Isra Mi'raj adalah penghapusan kewajiban untuk shalat malam dan menjadikannya sebagai shalat nafilah. Setelah Nabi hijrah ke Madinah, barulah shalat lima waktu menjadi norma. Alasan utama mengapa shalat lima waktu baru terlaksana di periode Madinah, karena pada periode Makkah akhir, Nabi tidak merasakan kebebasan beragama di kota tersebut. Sementara di Madinah, beliau dan umat Islam dapat melaksanakan shalat pada siang hari tanpa ada yang menghalangi. Kira-kira demikian. Semoga membantu. Catatan Kaki [1] Key Terms of the Qur'an [2] Studies in Islamic History and Institutions [3] Ṣalāt - Brill [4] The Development of Islamic Ritual
Summary:
Please note that all contributions to freem are considered to be released under the Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 (see
Freem:Copyrights
for details). If you do not want your writing to be edited mercilessly and redistributed at will, then do not submit it here.
You are also promising us that you wrote this yourself, or copied it from a public domain or similar free resource.
Do not submit copyrighted work without permission!
Cancel
Editing help
(opens in new window)